Senin, 29 Maret 2010

TERPUJILAH NAMA MU YA ALLAH

Buletin Dakwah Al-Kahfi Edisi 28 Tahun III/03 Dzulhijjah 1429 H/01 Desember 2008.

Haifah hanya dapat menangis di kamar mendengar pertengkaran orang tuanya yang hampir setiap hari terjadi. Entah pada siapa dia akan mengeluarkankeluh kesahnya. Sedang dia sendiri memiliki masalah dengan K'Yeni selaku guru ngajinya. Belum lagi masalah hatinya yang sedang diuji kemurnian cintanya. Hal ini membuatnya benar-benar frustasi. Belum lagi amanah yang harus dia selesaikan. Saat dia memejamkan mata, semua menjadi gelap… terlihat cahaya rembulan yang begitu indah dan besar. Di tengahnya terdapat tulisan Allah sekejap berganti menjadi Muhammad. Haifah berteriak sekencang-kencangnya untuk memberitahukan kepada keluarga serta temannya tentang keajaiban yang dilihatnya. Namun semua tidak mendengar. Tiba-tiba Haifa tersentak dari mimpinya. Astagfirullahhal'azim. Ternyata hanya mimpi. Ia buka jendela dan terlihatlah cahaya bulan purnama yang indah menembus kegelapan. Haifa segera berwudhu. Dia sangat merindukan Allah dan ingin sekali mengeluarkan keluh kesahnya pada kekasih hatinya.

Tak terasa dalam sholat tahajudnya Haifah mengeluarkan air mata tiada hentinya. Dia curahkan segala isi hatinya dan menangis sepuas-puasnya hingga dadanya pun terasa sesak. Saat ia menangis tiba-tiba semua menjadi gelap. Dan dalam gelap ia pun masih menangis. Tiba-tiba seorang yang tampan dengan wajah berseri dan bercahaya datang mendekatinya, dan mengulurkan tangannya. “Ayo… kau bilang kau ingin bertemu Allah, ayo aku antar kau menemuinya, begitu juga kekasihnya Muhammad”. Secara lirih Haifah memuji kebesaran Allah.

“Subhanallah…!” Dia hanya tertegun melihat wajah penuh seri itu. Dengan kelembutan seseorang itu meraih tangan Haifah dan menuntunya dalam kegelapan. Semakin jauh ia berjalan tampaklah secercah cahaya yang begitu indah bersama seseorang pria yang sangat tampan. Perlahan mereka mendekat dan semakin dekat tidak hentinya Haifah bertasbih dan memuji kebesaran Allah. Tiba-tibanya terdengar suara ibu Hanifa memanggilnya. “Haifah…. Haifah…… Haifah.

Perlahan senyum tersungging dari wajah yang penuh seri itu, dan perlahan pula ia lepaskan tangan Haifah. Saat tangan Haifah terlepas Haifah tersentak dan bangun ketika ia sadari tertidur didalam keadaan masih memakai mukenah dan tidur di atas sajadah. Namun ketika ia akan mengambil untuk sholat subuh, tubuhnya gemetar, lemas dan kemudian ia pingsan.

Setelah itu dia tak sadar apapun hingga mentari mulai cerah menyinari pagi. Dilihatnya wajah ibu yang menunggunya di samping seraya memijat kakinya yang dingin. Sesaat ketika ia sadar ibunya dipanggil oleh seorang yang ingin menjahit pakaiannya.

Saat ini Haifah tidak tahu apa yang harus ia lakukan dan pada siapa ia akan mencurahkan isi hatinya. Membayangkan keluarganya yang berantakan, membayangkan amanah dakwah yang berat. Membayangkan hubungannya dekan K'Yeni. Membayangkan perasaannya yang mulai merasakan ada setitik cinta untuk seseorang yang tak pernah disangka hadir dengan tiba-tiba.

“Ya, Allah, apa arti dari mimpi ini ya Allah?” dengan penuh air mata ia ceritakan apa yang dialaminya pada akhir-akhir ini pada K'Fitri. “Masalahnya berat juga. Ya kakak cuma bisa sarankan kamu sabar saja. Ya….kamu coba bicarakan ini ke nenek atau kakek kamu dari ibu kamu, trus gitu juga sama kakek n nenek dari ayah. Suruh keduanya saling terbuka. Insyaallah ngga serumit yang antum kira. Kalau masalah mimpi itu…kakak rasa itu baik kok. Kenapa harus takut ?

“Ya tentu saja Ifa takut ka', kayaknya ifah ga pantes dapat mimpi seperti itu”.

“AA Gym aja bermimpi rasullah dia takut, tapi kita lihat sekarang gimana beliau sekarang! Subhanallah. Mungkin ini awal dari hidayah Allah buat kamu”.

“AA Gym orang baik ka'. Dia itu ustadz. Sedangkan Ifah? Ifah, kalau Allah sudah berkehendak siapa yang berani protes? “ Ifah hanya tertunduk dan menangis.

Seiring waktu yang berjalan hubungan ayah dan ibu hifah mulai mencair. Dan dengan senang hati Haifah menelphone kak Fitri . “Assalamualaikum kak! Ana langsung seneng ne. hubungan keluarga ana mulai mencair”.

“Allahamdulillah. Bagus kalau begitu!”

“Iya, makasih ya kak atas sarannya!”

“Iya, sama-sama. Semoga masalah kamu satu persatu selesai”.

“Iya. Assalamualaikum”.

Dengan wajah berseri dan rasa syukur kepada Allah, Hifah melanjutkan kembali pekerjaannya menulis cerpen.

“Subhanallah..Alhamdulillah ya Allah..Engkau yang mengetahui bagaimana suasana hatiku saat ini, terpujilah namaMu duhai Allahku sayang..

By: Zuwanna Anggraini Sinaga (Siswi SMA Asahan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar